Tuesday, April 10, 2007

UPAYA PENGEMBANGAN KARAKTER PESERTA DIDIK

Oleh: Arifin Rahman *) **)
A.Pendahuluan
Pada dasawarsa terakhir ini, terjadi kecenderungan baru di dunia, yaitu tumbuhnya (kembali) kesadaran nilai. Kecenderungan ini terjadi secara global yang dapat digambarkan sebagai titik balik dalam peradaban manusia. Berbagai komunitas dan dalam banyak kesempatan tema-tema tentang nilai atau yang terkait dengan nilai dibahas, termasuk ilmu-ilmu alam berbicara tentang sains yang bermuatan nilai. Hal yang sama terjadi pada ilmu-ilmu sosial dan humaniora yang memang karakternya sangat kental bermuatan nilai yang melekat pada budaya. Jarang sekali ilmuwan sosial yang mengklaim bahwa bidang ilmu atau kajiannya bebas nilai atau bebas budaya.
Samuel Huntington dalam The Clash of Civilization mengajukan teori bahwa setelah Perang Dingin akan terjadi konflik atau benturan yang hebat antar-peradaban. Menurutnya, dari tujuh kelompok peradaban di dunia (Barat, Konghucu, Islam, Hindu, Jepang, Afrika, Amerika Latin) hanya akan terdapat tiga kekuatan yang saling berhadapan, yaitu Barat, Konghucu dan Islam. Kemudian akan terjadi koalisi antara Konghucu dan Islam untuk melawan Barat. Buku ini sering dituding sebagai awal memanasnya kembali berbagai konflik di banyak kawasan dunia yang berakar dari apa yang disebut sebagai “benturan anta-peradaban”. Sejak WTC hancur, Afghanistan diobrak-abrik, Irak diserbu, Korea Utara dipaksa bertekuk lutut, rakyat Palestina terus dibantai Israel, jilbab dilarang di sekolah-sekolah negeri di Perancis, studi-studi Islam di Negara-negara Barat dicurigai, dan banyak lagi. Semua itu adalah akibatnya atau “buah”-nya. Bila dicermati, akar masalahnya mungkin konflik atau benturan antara nilai-nilai yang diyakini oleh peradaban-peradaban tersebut.
Inti persoalannya adalah nilai, yakni tema-tema sentral makna kehidupan yang sering diperbicangkan, tetapi belum tergarap serius dalam pendidikan. Dalam beberapa tahun terakhir, memang ada arus pemikiran dan kebutuhan baru dalam dunia pendidikan untuk memberikan perhatian yang proporsional terhadap dimensi-dimensi afektif dari tujuan pendidikan, bersama-sama dengan aspek pengetahuan dan keterampilan. Seperti Budi Pekerti
*) Tenaga Pengajar FIS Universitas Negeri Surabaya.
**) Makalah pendamping pada Seminar Nasional IPS tanggal 2 April 2007 di FIS Unes.
atau Akhlak, Pendidikan Humaniora, Pendidikan Nilai, Pendidikan Multikultur yang kesemuanya bermuara bahwa pendidikan harus mampu mengembangkan nilai dan sikap serta membentuk kepribadian dan karakter peserta didik.
Sejak 1994 di Indonesia dikembangkan pembelajaran yang mengintegrasikan Iptek dan Imtaq yang intinya menyisipkan nilai keagamaan ke dalam mata pelajaran umum. Berjilid-jilid buku pedoman telah disusun untuk itu dan di seluruh Indonesia beribu guru telah ditatar untuk melaksanakan pembelajaran yang bernafaskan nilai-nilai keimanan dan ketaqwaan. Bersamaan dengan itu, sekolah berusaha menciptakan lingkungan yang kondusif bagi perkembangan kesadaran beragama peserta didik. Namun bertolak dari kenyataan bahwa pendidikan dewasa ini cenderung lebih mengutamakan kemampuan akademik dengan mengabaikan pendidikan afektif.

B. Pembelajaran Nilai Melalui Pendidikan IPS
Sebuah pertanyaan menarik sering muncul; Apakah nilai dapat diajarkan? Pertanyaan seperti ini dapat timbul di kalangan pendidik, akademisi, atau masyarakat luas. Tatkala pertanyaan ini diajukan dalam website (“Can value be taught?”), maka banyak sekali situs yang membahas topik ini. Ini menunjukkan besarnya perhatian terhadap persoalan tersebut, dan jawaban atas pertanyaan itu pun sangat jelas nilai dapat diajarkan melalui proses pendidikan. Sebenarnya keraguan tentang dapat tidaknya nilai diajarkan, muncul karena nilai dipersepsi hanya sebagai tema dalam wilayah filsafat. Kajian logika, etika dan estetika yang memang menelaah nilai secara mendalam melalui sudut pandang filsafat, tetapi dalam proses pendidikan kualitas kebenaran, kebaikan dan keindahan merupakan tema-tema abstrak yang (disadari atau tidak) menyatu dengan perilaku seseorang.
Dalam perspektif psikologi, pendidikan nilai pada dasarnya upaya mengokohkan keyakinan peserta didik agar berbuat kebenaran, kebaikan dan keindahan, yang keberhasilannya dapat ditaksir dari sejumlah perilaku pada tema nilai tertentu. Penyadaran nilai ini memerlukan usaha yang sungguh-sungguh dan terintegrasi. Pandangan monolitik dengan memberikan tanggung jawab pendidikan nilai pada guru mata pelajaran agama, PKn dan IPS adalah sudah tidak tepat lagi, karena pendidikan nilai merupakan tanggung jawab bersama (komplementer) antar guru, orang tua dan masyarakat dalam pembentukan kepribadian, moral, akhlak dan karakter peserta didik
Akhir-akhir ini banyak pendidik dalam pembelajaran nilai, kembali pada pemikiran bahwa peserta didik akan belajar lebih baik, jika lingkungan belajar diciptakan secara alamiah. Belajar akan lebih bermakna jika peserta didik “mengalami” apa yang dipelajarinya, bukan sekedar “mengetahui”nya. Pembelajaran yang berorientasi target penguasaan materi terbukti berhasil dalam kompetensi “mengingat” jangka pendek, tetapi gagal dalam membekali peserta didik dalam merumuskan – memecahkan masalah, mengembangkan alternatif pemecahan masalah, menyelesaikan konflik atau dilema moral dan mengambil keputusan dalam kehidupan jangka panjang.
Makalah ini lebih difokuskan bagaimana pendidikan IPS yang sarat nilai mampu pengembangan moral dan karakter peserta didik. Bagaimana guru IPS, PKn maupun guru Agama mampu mengaitkan antara materi yang diajarkannya dengan situasi dunia nyata peserta didik, membantu-mendorong mereka menghubungkan pengetahuan yang dimiliki dengan penerapannya dalam kehidupannya sebagai anggota keluarga, masyarakat – bangsa dan warga dunia.
Dengan konsep belajar ini diharapkan hasil pembelajaran lebih bermakna bagi peserta didik. Mengapa? Karena proses pembelajaran berlangsung alamiah dalam bentuk kegiatan yang menuntut peserta didik berpikir kritis – bekerja penuh tantangan yang menghadapkan peserta didik pada pilihan nilai dari proses simulasi / mengalaminya, bukan sekedar transfer pengetahuan. Boleh jadi, pendekatan, model, strategi dan proses perolehan lebih dipentingkan daripada hasil belajar.
Dalam konteks ini peserta didik perlu mengerti apa makna belajar, apa manfaatnya, dalam status apa mereka dan bagaimana mencapainya. Kita sebagai pendidik harus sadar materi dan sadar cara / teknik bahwa yang dibelajarkan berguna bagi mereka dan peserta didik pun harus disadarkan bahwa yang mereka pelajari berguna bagi hidupnya nanti. Mereka mempelajari apa yang bermanfaat bagi dirinya dan berupaya menggapainya. Dalam upaya ini, peserta didik memerlukan pendidik yang lebih berperan sebagai fasilitator, pemandu dan pendamping mereka dalam belajar.

C. Pembelajaran IPS Dalam Mempengaruhi Perkembangan Karakter Peserta Didik.
Fokus utama pendidikan seharusnya lebih diletakkan pada tumbuhnya kepintaran peserta didik yaitu kepribadian yang sadar diri atau kesadaran budi sebagai pangkal dari kecerdasan kreatif. Dari akar kepribadian yang sadar diri atau suatu kualitas budi luhur inilah seorang anak manusia bisa terus berkembang mandiri di tengah lingkungan sosial yang terus berubah semakin cepat. Orang yang pintar adalah orang yang tak pernah hilang akal atau putus asa, karena selalu bisa menggunakan nalarnya guna memahami dan memecahkan masalah yang dihadapinya.
Kualitas pribadi yang pintar adalah dasar orientasi pendidikan IPS dalam upaya mempengaruhi perkembangan karakter, kecerdasan, kebangsaan, demokrasi, kemanusiaan, saling menghargai, keterbukaan, kerjasama dan toleransi. Pelaksanaan pendidikan IPS pada masyarakat demokratis bukan hanya menghendaki perubahan yang tetap, tetapi juga adaptasi dan campur tangan. Inilah pentingnya menjadi pendidik yang efektif dan berkonstribusi dan memberi asupan dalam membantu peserta didik menyelesaikan masalah, sehingga mampu memberi tantangan dan beradaptasi untuk memberi harapan dalam pencapai kesuksesan peserta didiknya.
Tiga masalah penting dalam dunia pendidikan anak muda khususnya Pendidikan IPS yakni; (1) mengidentifikasi apa yang mungkin untuk diri sendiri dan masyarakat termasuk penemuan tentang misi hidup dan kesenangan dari gaya hidupnya; (2) kompetensi berupa pengembangan ilmu pengetahuan, nilai, sikap dan keterampilan yang penting untuk mencapai kesuksesan yang diberikan oleh masyarakat dan budaya; (3) karakter, yakni kualitas moral dan arah seseorang dalam mengambil keputusan atau bersikap.
Kalau Pendidikan agama, IPS, PKn ingin sukses membantu perkembangan karakter peserta didik, guru harus merubah paradigma dan oreintasi pembelajarannya. Yakni, bukan sekedar menghafalkan nama-nama Tuhan, malaikat, nabi atau rosul; nama – nama suku bangsa pakaian, senjata khas, bangunan rumah adat, nama upacara adat; arti nilai – norma, UUD, struktur pemerintahan – sosial, arti penyimpangan sosial – sosialisasi, HAM, arti politik dan kekuasaan dan yang lainnya. Namun, inti pendidikan dan pembelajarannya, bagaimana membantu menfasilitasi dan mendorong penyadaran diri tentang bagaimana hidup dan kematian (kesadaran ketuhanan), bagaimana mempengaruhi perkembangkan karakter, menumbuhkan kearifan lokal dan kesadaran nasional, toleransi, bekerjasama, disipilin dan kerja keras, hidup yang harmoni, serta akhlak sosial yang karimah.
Sementara pendapat menyatakan, bahwa perbedaan antara negara berkembang (miskin) dan negara maju (kaya) tidak tergantung pada umur negara itu. Contohnya negara India dan Mesir, yang umurnya lebih dari 2000 tahun, tetapi mereka tetap terbelakang (miskin). Di sisi lain – Singapura, Kanada, Australia & New Zealand– negara yang umurnya kurang dari 150 tahun dalam membangun, saat ini mereka adalah bagian dari negara maju di dunia, dan penduduknya tidak lagi miskin.
Ketersediaan sumber daya alam dari suatu negara juga tidak menjamin negara itu menjadi kaya atau miskin. Jepang mempunyai area yang sangat terbatas. Daratannya, 80% berupa pegunungan dan tidak cukup untuk meningkatkan pertanian & peternakan. Tetapi, saat ini Jepang menjadi raksasa ekonomi nomor dua di dunia. Jepang laksana suatu negara “industri terapung” yang besar sekali, mengimpor bahan baku dari semua negara di dunia dan mengekspor barang jadinya.
Swiss tidak mempunyai perkebunan coklat tetapi sebagai negara pembuat coklat terbaik di dunia. Negara Swiss sangat kecil, hanya 11% daratannya yang bisa ditanami. Swiss juga mengolah susu dengan kualitas terbaik. (Nestle adalah salah satu perusahaan makanan terbesar di dunia). Swiss juga tidak mempunyai cukup reputasi dalam keamanan, integritas, dan ketertiban – tetapi saat ini bank-bank di Swiss menjadi bank yang sangat disukai di dunia.
Para eksekutif dari negara maju yang berkomunikasi dengan temannya dari negara terbelakang akan sependapat bahwa tidak ada perbedaan yang signifikan dalam hal kecerdasan. Ras atau warna kulit juga bukan faktor penting. Para imigran yang dinyatakan pemalas di negara asalnya, ternyata menjadi sumber daya yang sangat produktif di negara-negara maju / kaya di Eropa. Lalu apa perbedaannya?
Perbedaannya adalah pada sikap/perilaku masyarakatnya, yang telah dibentuk sepanjang tahun melalui kebudayaan dan pendidikan. Berdasarkan analisis atas perilaku masyarakat di negara maju, ternyata bahwa mayoritas penduduknya sehari-harinya mengikuti / mematuhi prinsip-prinsip dasar kehidupan sebagai berikut.
1. Etika, sebagai prinsip dasar dalam kehidupan sehari-hari
2. Kejujuran dan integritas
3. Bertanggung jawab
4. Hormat pada aturan & hukum masyarakat
5. Hormat pada hak orang/warga lain
6. Cinta pada pekerjaan
7. Berusaha keras untuk menabung & investasi
8. Mau bekerja keras
9. Tepat waktu.
Di negara terbelakang / miskin / berkembang, hanya sebagian kecil masyarakatnya mematuhi prinsip dasar kehidupan tersebut. Kita bukan miskin (terbelakang) karena kurang sumber daya alam, atau karena alam yang kejam kepada kita. Kita terbelakang / lemah / miskin karena perilaku kita yang kurang / tidak baik. Kita kekurangan kemauan untuk mematuhi dan mengajarkan prinsip dasar kehidupan yang akan memungkinkan masyarakat kita pantas membangun karakter masyarakat, ekonomi, dan negara.
Apakah kita ingin berubah dan bertindak? Kalau tidak !!! Negara kita akan tetap berlanjut dalam kemiskinan…... dan akan menjadi lebih miskin lagi. Lantas harus dimulai dari mana? Perubahan dimulai dari diri kita sendiri sebagai pendidik minimal bagaimana merubah cara / teknik, metode, strategi, pendekatan dalam pembelajaran.
Di sinilah arti pentingnya pendidikan nilai yang berupaya membantu mengembangkan moral dan karakter peserta didik baik personal maupun sosial. Karakter personal seperti; jujur, autonomous, bertanggungjawab, disiplin mengelola diri sendiri, rasa ingin tahu dan berkepribadian. Adapun karakter sosial; mampu beradaptasi dengan masyarakat, bersifat bajik, belas kasih, sopan, dan dapat dipercaya. Untuk membantu mempengaruhi perkembangan moral dan karakter, kita perlu mengidentifikasi apa yang menyebabkan munculkan karakter yang baik, bagaimana karakter yang baik itu diukur dan bagaimana karakter yang baik itu dapat dikembangkan? Bagaimana mengelola pembelajarannya agar efektif?
William G Huitt (2000) berpendapat bahwa dalam mempengaruhi perkembangan moral dan karakter, yakni bagaimana karakter yang baik itu dapat dikembangkan, ia memberi elaborasi sbb.:
1. Komunikasi yang efektif dan berbagi cerita tentang nilai-nilai diantara anggota keluarga, sekolah, organisasi keagamaan dan masyarakat.
2. Sekolah yang secara efektif dikelola orang dewasa dengan menerapkan kekuasaan terhadap sekolah dan siswa secara nyaman, sensitif, meningkatkan minat siswa dan perilaku yang imajinatif, serta yang berkomitmen baik terhadap perkembangan akademik dan karakter peserta didik.
3. Sekolah yang memberi banyak kesempatan untuk mempraktikkan kehidupan sosial (tolong-menolong, bekerjasama, toleransi).
4. Sekolah yang menyediakan berbagai bentuk praktik pembiasaan untuk menumbuhkan kesadaran tentang sikap yang baik
5. Sekolah yang berorientasi pada penyediaan sistem simbol, slogan, upacara dan lagu yang dapat mempertinggi jati diri dari kelompok siswa.
6. Sekolah yang berdedikasi untuk menegakkan disiplin siswa, yang secara luas menyebarkan aturan disiplin yang secara giat menekankan dan melindungi akibat-akibat penting.
7. Dijalankan untuk tujuan akademik dan penugasan pekerjaan rumah yang penting dan tidak menitikberatkan pada kekakuan akademik.
8. Bersifat sensitif untuk keperluan mengembangkan kesetiaan kelompok siswa (minat dan kegemaran).
9. Simpatik terhadap nilai-nilai sosial eksternal dan merasakannya sebagai pendukung dan ditekankan dengan masalah-masalah anak muda.
10. Sekolah yang selalu mampu menggunakan uang yang berlebih untuk meningkatkan programnya, tetapi jangan merasa kekurangan uang sebagai alasan untuk mengurangi program yang penting.
11. Sekolah yang terbuka untuk mendapatkan bantuan, bimbingan, dan dukungan orang tua dan faktor eksternal lainnya, tetapi mau untuk mengajukan perubahan konstruktif yang penting dengan kenyataan bahwa terkadang keluhan orang tua yang salah informasi
12. Mengembangkan pemahaman tentang karakter dalam ruang lingkup yang luas dan modern.

Untuk merealisasikan dan mengembangkan program, Huitt melakukan program percontohan: mendorong bagaimana relasi sosial antara orang dewasa dan anak harmonis; menciptakan forum untuk mendiskusikan dan bertukar pengalaman tentang masalah moral, nilai-nilai sosial dan tindakan sosial. Untuk itu, dikonstruksilah kurikulum & silabus yang terpadu untuk pertumbuhan di empat area yaitu – intelektual, fisik, spiritual dan emosional.
Selama ini, dari ketiga ranah kepintaran model Bloom yaitu; kecerdasan (kognisi) keterampilan (psikomotor), dan afeksi, yang pertama nampaknya lebih dipentingkan dalam praktik pendidikan. Sementara ranah psikomotor dan afeksi seringkali kurang memperoleh perhatian sewajarnya. Hal ini mungkin disebabkan oleh pandangan yang keliru, seolah kecerdasan manusia hanya berhubungan dengan otaknya, sehingga memunculkan teori tentang cara mengukur kecerdasan otak (IQ). Dalam beberapa dekade terakhir pandangan di atas memperoleh kritik keras dari teori tentang kecerdasan emosional (EQ). Pandangan ini menyatakan bahwa kemampuan menahan nafsu (diri) sebagai inti dari EQ adalah akar yang lebih penting dari IQ. Bersamaan dengan munculnya teori ini, berkembang cukup luas suatu teknik belajar yang dikenal dengan quantum learning. Belakangan ini bahkan muncul pemikiran filosofis tentang kecerdasan spiritual (SQ) yaitu mengenai kemampuan hati nurani atau ”kata hati” yang lebih hebat dari semua jenis kecerdasan. SQ dan EQ dipandang sebagai unsur pokok yang menjadikan seseorang bisa mencapai kesuksesan hidup. Seseorang dengan IQ tinggi tidak menjamin mampu mengatasi berbagai masalah yang dihadapi, kecuali ia juga memiliki EQ dan SQ yang tinggi.
IQ tinggi tanpa EQ dan SQ tinggi – memadai ada kecenderungan membuat seseorang lebih berbahaya, karena mudah melakukan kejahatan profesional. Maraknya KKN (korupsi, kolusi dan nepotisme) di negeri ini, karena banyak penguasa – pengusaha sampai pegawai rendahan yang EQ dan SQ nya kurang memadai, kreativitasnya cenderung digunakan untuk hal-hal yang negatif. Demikian halnya, meluasnya dan maraknya konflik dan kekerasan kemanusiaan, suatu keniscayaan kearifan dan kesalehan sosial kurang ditanamkan.
Di sinilah arti pentingnya pendidikan nilai, sebagai upaya mengembangkan moral dan karakter peserta didik yang lebih banyak berkaitan dengan dua kecerdasan (EQ dan SQ) yang bertumpu pada masalah diri. Walaupun tidak banyak pemikiran teoretik mengenai pendidikan kepribadian, konsentrasi ketiga inilah yang dimaksud dengan pendidikan afeksi yang secara khusus ditekankan pada upaya penyadaran diri dan karakter peserta didik..
Sebagaimana dikatakan Fraire, bahwa inti program pendidikan ialah ”penyadaran diri peserta didik” kepada dirinya sendiri, orang lain dan masyarakat. Goleman menyatakan pentingnya ”kecerdasan emosional” mungkin ”kecerdasan spiritual” – ”hati nurani” bagi Danah Zohar, sehingga Bobbi De Porter merancang sebuah model pendidikan yang menyenangkan. Sama halnya Fazlur Rahman mengenai pendidikan kreatif dan kritis sebagai konsekuensi dari basis etik dari ajaran Islam di dalam Al Quran menjadi penting. Proyek-proyek humanisasi sekarang menjadi ajang kegiatan yang tidak ada hentinya dalam konteks yang lebih nyata dan diimplementasikan dalam berbagai aktivitas kemanusiaan.

D. Bagaimana Menerapkan Pembelajaran IPS Dalam Memberi Asupan Terhadap Perkembangan Karakter Peserta Didik.
Kalau kita lihat Permen 22 tahun 2006 Standar Isi dari kelompok mata pelajaran agama dan akhlak mulia dimaksudkan untuk membentuk peserta didik menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa serta berakhlak mulia. Akhlak mulia mencakup etika, budi pekerti, atau moral sebagai perwujudan dari pendidikan agama. Adapun kelompok mata pelajaran kewarganegaraan dan kepribadian dimaksudkan untuk peningkatan kesadaran dan wawasan peserta didik akan status, hak, dan kewajibannya dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara, serta peningkatan kualitas dirinya sebagai manusia.
Kesadaran dan wawasan termasuk wawasan kebangsaan, jiwa dan patriotisme bela negara, penghargaan terhadap hak-hak asasi manusia, kemajemukan bangsa, pelestarian lingkungan hidup, kesetaraan gender, demokrasi, tanggung jawab sosial, ketaatan pada hukum, ketaatan membayar pajak, dan sikap serta perilaku anti korupsi, kolusi, dan nepotisme.
Mata pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan bertujuan agar peserta didik memiliki kemampuan sebagai berikut.
1. Berpikir secara kritis, rasional, dan kreatif dalam menanggapi isu kewarganegaraan
2. Berpartisipasi secara aktif dan bertanggung jawab, bertindak secara cerdas dalam kegiatan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara, serta pencegahan terhadap tindak korupsi, kolusi dan nepotisme
3. Berkembang secara positif dan demokratis untuk membentuk diri berdasarkan pada karakter-karakter masyarakat Indonesia agar dapat hidup bersama dengan bangsa-bangsa lainnya
4. Berinteraksi dengan bangsa-bangsa lain dalam percaturan dunia secara langsung atau tidak langsung dengan memanfaatkan teknologi informasi dan komunikasi.
Mata pelajaran IPS bertujuan mengembangkan potensi Peserta Didik agar peka terhadap masalah sosial yang terjadi di masyarakat, memiliki sikap mental positif terhadap perbaikan segala ketimpangan yang terjadi dan melatih ketrampilan untuk mengatasi setiap masalah yang terjadi sehari-hari baik yang menimpa diri sendiri atau masyarakat.
Bagaimanakah membelajarkannya agar peserta didik memiliki kemampuan yang dituntut oleh kurikulum maupun masyarakat. Singkat kata, pendidikan kita masih didominasi oleh pandangan bahwa pengetahuan itu sebagai seperangkat fakta yang harus dihapal. Kelas masih terfukus pada pendidik sebagai sumber utama pengetahuan, kemudian ceramah menjadi pilihan utama strategi pembelajaran. Untuk itu diperlukan strategi pembelajaran lain – ”baru” yang lebih memberdayakan peserta didik. Mereka didorong untuk ”mengalami – menduga – memperoleh umpan balik dan mengkonstruksi sendiri” pengetahuan – keterampilan – sikap dibenak mereka, untuk kemudian memberi makna pada pengetahuan – keterampilan – sikap yang dialaminya.
Dengan kata lain, peserta didik harus tahu makna belajar dan menggunakan pengetahuan – keterampilan – sikap yang diperolehnya untuk memecahkan masalah – mengembangkan alternatif pemecahannya, bahkan mengambil keputusan dengan tepat dalam kehidupannya. Untuk itu, kita sebagai pendidik harus merubah paradigma dari dosen/guru akting di panggung peserta didik menonton menjadi -> peserta didik aktif, kritis berpikir dan bekerja di panggung / ruang kelas. Boleh jadi peran dosen/guru dituntut mampu memfasilitasi, memandu, mendorong dan mengaitkan antara materi yang diajarkan dengan situasi dunia nyata dengan penuh kesabaran – disiplin tinggi dengan tugas – tugas & pertanyaan – pertanyaan yang menantang mereka berpikir kritis, analitis, sintesis dan diajak /dibiasakan merefleksikan hasil belajarnya. Pengembangan Diri dengan program pembiasaan melalui, Obstime (observation time) maupun Viewtime (interview time), maupun kegiatan ekstra kurikuler yang secara simultan dilakukan perbaikan terus – menerus untuk mengembangkan minat, bakat, kegemaran sehingga pencapaian karakter yang diidam-idamkan oleh masyarakat, bangsa dan negara dapat terwujud.
Dari kondisi ini, diharapkan peserta didik mampu mengidentifikasi, mendeskripsikan, menghubungkan, menganalisis dan mengembangkan gagasan-gagasan kreatif untuk diterapkan dalam kehidupan mereka sehari-hari. Langkah mudahnya, kita mengembangkan pembelajaran terpadu melalui perencanaan tematik, sehingga kita dapat mengimplementasikan pemikiran bahwa peserta didik akan belajar lebih bermakna dengan cara bekerja sendiri, menemukan sendiri, dan mengkonstruksi sendiri pengetahuan, keterampilan dan sikap barunya; melakukan sejauh mungkin kegiatan inkuiri untuk semua materi pokok/tema; mengembangkan sifat rasa ingin tahu peserta didik dengan mengajukan pertanyaan; menciptakan masyarakat belajar (kerja individu dulu – berpasangan – kelompok – klasikal); menghadirkan sumber belajar/artikel yang berbasis masalah atau ”model”/teladan sebagai contoh pembelajaran (Kiyai, Pastur, Pendeta, dokter/bidan, pemerhati lingkungan, polisi – jaksa – hakim dll.) di kelas; melakukan refleksi di akhir pertemuan (apa yang sudah dipahami, apa saja yang menantang, apa saja yang masih membingungkan, dan apa yang ingin diketahui lebih jauh / lanjut); dan melakukan penilaian yang sebenarnya dengan berbagai cara (observasi terfokus, wawancara, produk dll).
Selain itu, guru dituntut bagaimana mampu menata kelas dengan baik seperti: penataan tempat duduk; pengaturan peserta didik; pemetaaan anak (karena ada yang tidak dapat melihat dari jarak jauh); penataan pajangan ; penataan yang memungkinkan peserta didik kerjasama secara bervariasi; penataan peserta didik sesuai dengan kebutuhan; menciptakan kondisi yang kondusif dan sehat; menciptkan situasi yang mendorong peserta didik berfikir kreatif; kondisi kelas yang indah, sehat, yang memungkinkan interaksi antar peserta didik dan atau dengan guru; pengaturan ruang kelas yang alamiah (penataan fisik dan atmosfir kelas sesuai tema yang sedang dibahas).
Demikian halnya dalam mengembangkan kerja kelompok harus disesuaikan dengan kebutuhan, pembagian tugas kelompok yang jelas sehingga memungkinkan peserta didik belajar kooperatif, jenis tugas dan pertanyaan yang diberikan pada kelompok bervariasi bisa polemik atau diskusi, atau cara (campuran) sesuai peta kelompok peserta didik yang memungkinkan mereka berpikir kritis, saling memberi dan penuh tanggungjawab, pengaturan waktu yang efektif dan adanya kejelasan terhadap tugas yang diberikan.
Kalau kita memonitor ke sekolah-sekolah, hampir tidak pernah ditemukan peserta didik melaksanakan permainan peran. Padahal bermain peran merupakan salah satu metode yang mengaktifkan siswa, cukup efektif, ekspresif, menarik dan disukai anak anak. Sesungguhnya bermain peran dapat dipakai untuk menanamkan konsep konsep IPS, meningkatkan keterampilan mengkomunikasikan gagasannya, dan meningkatkan pemahaman / penghayatan untuk IPS dan PPKn. Bermain peran sesungguhnya bisa dilaksanakan secara spontanitas, oleh sepasang anak, sekelompok kecil anak atau bahkan oleh seluruh peserta didik di kelas. Kalau perlu peserta didik dapat memutuskan sendiri tema / topik yang mau diperankan mereka. Tentu saja dapat juga dilakukan dengan menggunakan skenario yang sudah tersedia atau skenario yang dibuat peserta didik sendiri.
Berikut beberapa contoh skenario sederhana untuk bermain peran. Peserta didik dapat melaksanakannya dengan spontan tanpa berlatih dulu. Peserta didik berkelompok 6 – 8 orang
butuh waktu hanya 10 menit. Misalnya, kalau kamu menjadi Sultan Agung yang mau menyerang Batavia, apa saja persiapan yang harus kamu lakukan. Ingat bahwa keadaan pulau Jawa pada waktu itu sangat berbeda dengan sekarang ( alam, hutan, desa/kota, jalan raya, transportasi darat/laut, perdagangan, persenjataan, taktik perang dsb). Tugas 1: Diskusikan dalam kelompok perbedaan kondisi pada masa itu dibandingkan dengan sekarang. Tugas 2: Salah seorang dari kamu menjadi Sultan Agung, anggota kelompok lain menjadi perdana menteri, menteri pertahanan / komandan pasukan, prajurit tempur, ahli strategi, menteri pertanian, dll). Lakukan bermain peran: Sultan Agung memimpin sidang persiapan menyerang Batavia. Tugas Siswa lain mengamati dan memberikan tanggapan atas permainan peran. Contoh lain, salah seorang siswa menjadi orang terkenal ( SBY, Kartini, atau ... ) Pasangan menjadi pewawancara. Topik boleh memilih sendiri ( Kenaikan BBM, Flu Burung, Pendapat Kartini mengenai Peran wanita Indonesia saat ini , ... dsb). Contoh lainnya, pada tahun 1982 Gunung Galunggung di Jawa Barat meletus sampai 400 kali letusan besar kecil. Banyak desa di daerah aliran lahar rusak sama sekali sehingga tidak layak huni lagi karena tertimbun batu batuan dan pasir sampai setebal beberapa meter.Ribuan penduduk desa di lereng gunung Galunggung menjadi pengungsi dan tidak dapat pulang ke desanya lagi. Pemerintah menawarkanagar mereka bersedia transmigrasi ke luar pulau Jawa. Sebagian penduduk bersedia sebagian lagi menolak.Tugas 1: Bermain Peran (semua peserta didik satu kelas terlibat) tempatnya bisa di halaman sekolah, Waktunya 5 menit. Salah seorang siswa (sebaiknya yang gemuk dan besar) menjadi gunung Galunggung yang mau meletus (Bergetar dan menggeram geram). Semua siswa lain menjadi penduduk yang berlarian ketakutan. Tugas 2; Rapat Desa (seluruh siswa), Waktunya 30 menit. Salah seorang siswa berperan sebagai Kepala Desa yang memimpin rapat warga desa mengenai rencana Pemerintah tersebut. Siswa-siswa lain ada yang menjadi Camat, Utusan Gubernur Jawa Barat, Petugas Transmigrasi, Ketua RT, Kepala Sekolah, Petugas Psyandu, sedangkan siswa lain menjadi warga desa lain seperti petani, isteri petani, anak-anak sekolah dsb. Masing masing pemeran diberi waktu 5 menit untuk memikirkan peran dan sikapnya terhadap rencana tersebut Contoh lain yang senada Lumpur Panas LAPINDO atau tentang KAMPANYE PEMILIHAN PILKADA, waktunya 40 menit Seluruh siswa menjadi pemilih. Peserta didik dibagi menjadi 6 Kelompok. Setiap kelompok menunjuk seorang calon Kepala Daerah dan mendiskusikan tema/isu kampanye bagi kelompok tsb dan masih banyak contoh yang muaranya memperbaiki dan mengembangkan karakter peserta didik dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.

E. Penutup
Dalam upaya pengembangan karakter peserta didik melalui pembelajaran IPS yang akhir-akhir ini marak dibicarakan, diterapkan, dinilai, akan menghadapi berbagai kendala penyesuaian nilai, norma masyarakat yang bervariasi merupakan tantangan tersendiri.
Berbagai fenomena kekerasan dalam (keluarga – masyarakat) dalam beragam bentuk dan usia membuat orang mempertanyakan efektivitas pendidikan karakter di sekolah dan di rumah. Berbagai proposisi tentang penyadaran diri, kecerdasan dan karakter yang hendak dibangun. Namun dalam tulisan ini hanyalah sebuah tawaran untuk sebuah pendidikan manusiawi sebagai upaya mengembangkan karakter peserta didik melalui pembelajaran IPS. Tawaran pembelajaran ini berdimensi afektif atau kecerdasan emosional – spiritual agar para pendidik mampu merancang dan melaksanakan melalui berbagai model pendekatan, model, strategi, motode dan teknik pembelajaran yang sesuai dengan tingkat perkembangan peserta didik dan tingkat perkembangan masyarakatnya.
Semoga konflik dan kekerasan yang masih marak di negeri seribu etnik ini selain disebabkan belum tegaknya hukum, akibat belum tumbuhnya pribadi yang pintar (kreatif dan cerdas) dapat diminimalisir melalui pembelajaran IPS.
Untuk itulah guru IPS dituntut mampu memfasilitasi bagaimana agar peserta didik kita mampu menggunakan nalarnya secara benar dan obyektif serta kreatif mengembangkan alternatif pilihan untuk memenuhi kepentingannya dengan tepat di luar cara-cara kekerasan. Kecerdasan kreatif yang bersumber dari kesadaran nilai-nilai diri dan sosial dan peduli pada kemanusiaan, menjadi perhatian guru IPS untuk diwujudkan baik di ruang kelas dan memberi konstribusi di masyarakat.
Makalah sederhana ini mudah-mudahan mampu memberi pencerahan untuk mencoba dan mampu merancang dan melaksanakannya dalam berbagai model pembelajaran IPS Amiin.
Bahan Bacaan:
G. Huitt, William Ph.D. 2000. Moral and Character Education. Valdosta State University.
Merry Stanford. 2000. School Climate. Office of School Excellence. Michigan Department of Education
Mulyana, Rohmat. 2003. Mengaktualisasikan Pendidikan Nilai.Bandung. ALFABETA
Numan Sumantri, Muhammad. 2001. Menggagas Pembaharuan Pendidikan IPS. Bandung; Rosda
R. Miller, John. 2002. Cerdas di Kelas Sekolah Kepribadian. Yogyakarta, Kreasi Wacana
Soetandyo Wignjosubroto. 2002. Hukum, Paradigma, Metode dan Dinamika Masalahnya . Jakarta, ELSAM.
Ramos Lewis. 1997. Dilema Kedisiplinan.Jakarta, Gramedia Widiasarana Indonesia

No comments: